RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
(RDS)
1. Definisi
- Respiratory
distress syndrome adalah suatu bentuk gagal nafas yang ditandai dengan
hipoksemia, penurunan compliance paru, dispnea, edema pulmonal bilateral tanpa
gagal jantung dan infiltrat yang menyebar (Somantri, 2009).
- Respiratory distress
syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas dispnea, frekuensi
pernafasan yang lebih dari 60 kali permenit, adanya sianosis, adanya rintihan
pada saat ekspirasi (ekspiratory grunting), serta adanya retraksi
suprasternal, interkostal, dan epigastrium saat inspirasi. Penyakit ini adalah
penyakit membran hialin, dimana terjadi perubahan atau berkurangnya komponen
surfaktan pulmonal (zat aktif alveoli yang dapat mencegah kolaps paru dan mampu
menahan sisa udara pada akhir ekspirasi) (Hidayat, 2008).
- Respiratory
distress syndrome juga dikenal sebagai penyait membran hialin, biasanya
dikaitkan dengan bayi preterm dan merupakan masalah yang paling
serius (Meadow & Newell, 2005).
2. Klasifikasi
Dibagi menjadi dua stadium, yaitu :
a. Eksudatif
Ditandai dengan adanya perdarahan pada
permukaan parenkim paru, edema interstisial atau elveolar, penekanan pada
bronkiolus terminalis, dan kerusakan pada sel alveolar tipe I (Somantri,
2009).
b. Fibroproliferatif
Ditandai dengan adanya kerusakan pada sel
alveolar tipe II, peningkatan tekanan puncak inspirasi, penurunan compliance paru,
hipoksemia, penurunan fungsi kapasitas residual, fibrolisis interstisial, dan
peningkatan ruang rugi ventilasi(Somantri, 2009).
Pada foto thorak menurut kriteria Bomsel ada 4
stadium RDS yaitu :
a. Stadium
1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan
sedikit bronchogram udara
b. Stadium
2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua
lapangan paru dan gambaran air broncogram udara terlihat lebih jelas dan meluas
sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
c. Stadium
3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung
sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque (white lung) dan bayangan
jantung hampir tidak terlihat, bronchogram udara lebih luas.
d. Stadium
4
Seluruh thorak sangat opaque (white lung)
sehingga jnatung tidak dapat terlihat.
(Warman, Waskito, & Romadhon, 2012).
3. Etiologi
Faktor risiko terjadinya respiratory
distress syndrome adalah :
a. Bayi
kurang bulan atau bayi premature
Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara
biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan uang melapisi rongga paru.
b. Kegawatan
neonatal
Seperti kehilangan darah dalam periode
perinatal, aspirasi mekonium, pnemotoraks akibat tinadakan resusitasi, dan
hipertensi pulmonal.
c. Bayi
dari ibu diabetes mellitus
Pada bayi dengan diabetes terjadi
keterlambatan pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi.
(Warman et al., 2012)
4. Manifestasi Klinis
a. Sesak nafas atau
pernafasan cepat
b. Frekuensi nafas > 60
x/menit
c. Pernafasan cepat dan
dangkal timbul setelah 6-8 jam setelah lahir
d. Retraksi interkostal,
epigastrium, atau suprasternal pada inspirasi
e. Sianosis dan
pernafasan cuping hidung
f. Grunting pada
ekspirasi (terdengan seperti suara rintihan saat ekspirasi)
g. Takikardi (170 x/menit)
(Suryanah, 1996).
Evaluasi gawat nafas menurut skor down
Pembeda
|
0
|
1
|
2
|
Keterangan
|
Frekuensi nafas
|
< 60 x/menit
|
60-80 x/menit
|
> 80 x/menit
|
Skor < 4 tidak gawat nafas
|
Retraksi dada
|
Tidak ada
|
Ringan
|
Berat
|
|
Sianosis
|
Tida sianosis
|
Hilang dengan O2
|
Menetap walaupun diberikan O2
|
Skor 4-7 gawat nafas
|
Air entry
|
Udara masuk bilateral baik
|
Penurunan ringan udara masuk
|
Tidak ada udara masuk
|
|
Merintih atau grunting
|
Tidak merintih
|
Terdengar dengan stetoskop
|
Terdengar tanpa alat bantu
|
Skor > 7 ancaman gawat nafas
|
5. Komplikasi
a. Komplikasi
jangka pendek dapat terjadi :
1) Kebocoran
alveoli
Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara
seperti pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema
intersisiel, pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala
klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2) Jangkitan
penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah
leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasif
seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3) Perdarahan
intrakranial
Perdarahan intraventrikuler terjadi pada
20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi
mekanik.
b. Komplikasi
jangka panjang
Dapat disebabkan oleh keracunan oksigen,
tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen
yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering
terjadi :
1) Bronchopulmonary
Dysplasia (BPD)
2) Retinopathy
prematur
(Azizah, 2013).
6. Pemeriksaan
Penunjang
a. Tes Kematangan Paru
1) Tes Biokimia
Paru janin berhubungan dengan
cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai
produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru.
2) Test Biofisika
Tes biokimia dilakukan dengan
shake test dengan cara mengocok cairan amnion yang dicampur ethanol akan
terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion
seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Bila didapatkan ring
yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali ( cairan amnion :
ethanol ) merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal,
mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya
neonatal RDS.
b. Analisis
Gas Darah
Gas darah menunjukkan asidosis metabolik dan
respiratorik bersamaan dengan hipoksia. Asidosis muncul karena atelektasis
alveolus atau over distensi jalan napas terminal.
c. Radiografi
Thoraks
Pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular
granular atau gambaran ground-glass bilateral, difus, air bronchograms, dan
ekspansi paru yang jelek. Gambaran air bronchograms yang mencolok
menunjukkan bronkiolus yang terisi udara didepan alveoli yang kolap. Bayangan
jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh asfiksi
prenatal, diabetes maternal , patent ductus arteriosus
(PDA), kemungkinan kelainan jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan
terapi surfaktan dini dan ventilasi mekanik yang adekuat
(Warman et al., 2012).
7. Penatalaksanaan
a. Ventilasi
Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan
hidup yang invasif dengan berbagai efek pada sistem kardiopulmonal.
Tujuan :
Ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi
klinis pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional
concentration of inspired oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator atau
volume tidal yang minimal.
Indikasi :
1) Indikasi absolut
a) prolonged apnea
b) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas
0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik
c) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan
asidemia persisten
d) Bayi yang menggunakan anestesi umum
2) Indikasi relatif
a) Frequent intermittent apnea
b) Bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan
nafas
c) Pada pemberian surfaktan
b. Terapi
surfaktan
Saat ini preparat surfaktan yang tersedia
antara lain adalah surfaktan sintetis dan surfaktan natural yang berasal dari
ekstrak paru-paru sapi atau dari bilas paru-paru domba atau babi. Surfaktan
dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami
respiratory distress syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan
2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi
memerlukan tambahan oksigen 30% atau lebih. Surfaktan dapat diberikan langsung
melalui selang ETT atau dengan menggunakan nebulizer. Pemberian langsung
kedalam selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke
bagian perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang
dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan
dengan menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit),
dilanjutkan dengan postural drainage (Effendi & Firdaus, 2010).
Nama produk surfaktan
|
Dosis
|
Dosis tambahan
|
Galfactant
|
3 ml/KgBB
|
Dapat diulang sampai 3 kali pemberian dengan interval tiap 12
jam
|
Beractant
|
4 ml/KgBB
|
Dapat diulang setelah 6 jam, sampai total 4 dosis dalam 48 jam
|
Colfosceril
|
5 ml/KgBB
|
Diberikan dalam 4 menit Dapat diulang setelah 12 dan 24 jam
|
Porcine
|
2,5 ml/KgBB
|
Dosis 1,25 ml/KgBB dapat diberikan tiap 12 jam
|
c. Continuos
Positive Airway Pressure (CPAP)
Continuos Positive Airway
Pressure (CPAP) adalah merupakan suatu alat untuk
mempertahankan tekanan positif pada saluran
napas neonatus selama pernafasan spontan. CPAP
merupakan suatu alat yang sederhana dan efektif untuk tatalaksana respiratory
distress pada neonatus. Penggunaan CPAP yang benar terbukti dapat menurunkan
kesulitan bernafas, mengurangi ketergantungan terhadap oksigen, membantu
memperbaiki dan mempertahankan kapasitas residual paru, mencegah obstruksi
saluran nafas bagian atas, dan mecegah kollaps paru, mengurangi apneu,
bradikardia, dan episode sianotik.
Kontra indikasi :
1) Bayi dengan
gagal nafas, dan memenuhi kriteria untuk
mendapatkan support ventilator
2) Respirasi yang irreguler
3) Adanya anomali kongenital
4) Hernia diafragmatika
5) Fistula
tracheo-oeshophageal
6) Trauma pada
nasal, yang kemungkinan dapat memburuk
dengan pemasangan nasal prong
7) Instabilitas
cardiovaskuler, yang akan lebih baik
apabila mendapatkan support ventilator
d. Extracorporeal
Membrane Oxygenation
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO)
merupakan alat yang menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru
buatan (membrane oxygenator), dimana oksigen ditambahkan dan CO2 dikeluarkan,
kemudian darah dipompa balik pada atrium kanan pasien (Venovenosis ECMO) atau
aorta (venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru dapat beristirahat dan
menghindari tekanan tinggi ventilator.
(Effendi & Firdaus, 2010).
Secara umum penatalaksanaan pada pasien dengan
respiratory distress syndrome adalah :
a. Memperthankan
stabilitas jantung paru yang dapat dilakukan dengan mengadakan pantauan mulai
dari kedalaman, kesimetrisan dan irama pernafasan, kecpatan, kualitas dan suara
jantung, mempertahankan kepatenan jalan nafas, memmantau reaksi terhadap
pemberian atau terapi medis, serta pantau PaO2. Selanjutnya
melakukan kolaborasi dalam pemberian surfaktan eksogen sesuai indikasi.
b. Memantau
urine, memantau serum elketrolit, mengkaji status hidrasi seperti turgor,
membran mukosa, dan status fontanel anterior. Apabila bayi mengalami kepanasan
berikan selimut kemudian berikan cairan melalui intravena sesuai indikasi.
c. Mempertahankan
intake kalori secara intravena, total parenteral nurition dengan memberikan
80-120 Kkal/Kg BB setian 24 jam, mempertahankan gula darah dengan memantau
gejala komplikasi adanya hipoglikemia, mempertahankan intake dan output,
memantau gejala komplikasi gastrointestinal, sepertia danya diare, mual, dan
lain-lain.
d. Mengoptimalkan
oksigen, oksigenasi yang optimal dilakukan dengan mempertahankan kepatenan
pemberian oksigen, melakukan penghisapa lendir sesuai kebutuhan, dan
mempertahankan stabilitas suhu.
e. Pemberian antibiotik.
Bayi dengan respiratory
distress syndrome perlu mendapat antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari atau
ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.
8. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Biodata
Respiratory distress sindrome merupakan suatu
sindrom yang sering ditemukan pada neonatus dan menjadi penyebab morbiditas
utama pada bayi berat lahir rendah (BBLR). Sindrom ini paling banyak ditemukan
pada BBLR terutama yang lahir pada masa gestasi < 28 minggu (Tobing,
2004).
2) Keluhan
utama
Adanya dispnea yang akan diikuti dengan
takipnea, pernafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks, dan
sianosis (Tobing, 2004).
3) Riwayat
kesehatan
a) Riwayat
penyakit sekarang
Pada bayi yang mengalami respiratory ditress
sindrome adalah sesak nafas atau pernafasan cepat, frekuensi nafas > 60
x/menit, pernafasan cepat dan dangkal timbul setelah 6-8 jam setelah lahir,
retraksi interkostal, epigastrium, atau suprasternal pada inspirasi, sianosis
dan pernafasan cuping hidung, grunting pada ekspirasi (terdengan seperti suara
rintihan saat ekspirasi), dan takikardi (170 x/menit) (Suryanah, 1996).
b) Riwayat
penyakit dahulu
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu
perlu prematuritas dan masa kehamilan bayi (Tobing, 2004)..
c) Riwayat
penyakit keluarga
Faktor – faktor risiko yang dapat kita
pertimbangkan untuk meramalkan terjadinya respiratory distress sindrome adalah
riwayat kehamilan sebelumnya, bedah caesarea, diabetes, ketuban pecah lama,
penyakit ibu(Tobing, 2004
4) Pemeriksaan
fisik
a) Keadaan
umum
Keadaan umum pasien dengan respiratory
distress syndrome di dapatkan kesadaran yang baik atau composmetis dan akan
berubah sesuai dengan tingkat gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf
pusat.
b) Pemeriksaan
fisik (B1-B6)
B1 (Breathing)
Takhipneu adalah manifestasi awal distress
pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan
merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik, frekuensi
nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan
dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.Meningkatnya
usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada,
yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan
kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi
gangguan mekanik usaha pernafasan(Adun, 2012).
B2 (Blood)
Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk
mengetahui volume dan aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak adekuat dan
tidak teraba pada satu sisi menandakan berkurangnya aliran darah atau
tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang
memburuk dapat dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis (Adun,
2012).
B3 (Brain)
Terjadi immobilitas, kelemahan, kesadaran lethargi, penurunan suhu
tubuh(Adun, 2012).
B4 (Bladder)
Pada ginjal terjadi penurunan
produksi atau laju filtrasi glomerulus(Somantri, 2009).
B5 (Bowel)
Pasien biasanyan mual dan muntah, anoreksia
akibat pembesaran vena dan statis vena di dalam rongga abdomen, serta penurunan
berat badan(Somantri, 2009).
B6 (Bone)
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna
kulit tubuh terlihat berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat
kelabu, pucat dan teraba dingin (Adun, 2012).
b. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas b.d edema pulmonal, cedera pulmonal.
2) Ketidakefektifan pola
nafas b.d kolaps alveoli, peningkatan usaha nafas, takipnea.
3) Gangguan pertukaran gas
b.d pembentukan membran hialin, cedera pulmonal.
4) Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh b.d reflek menghisap berkurang, intake inadekuat.
5) Ketidakefektifan koping keluarga b.d perubahan
status kesehatan, kecemasan keluarga.
c. Intervensi
1) Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas b.d edema pulmonal, cedera pulmonal.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam bersihan jalan nafas kembali efektif.
Kriteria hasil :
a. Pasien dapat bernafas secara normal
tanpa menggunakan otot bantu pernafasan.
b. Tidak ada bunyi nafas tambahan.
c. Pergerakan nafas normal.
Intervensi :
a) Beri
penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan pada keluarga pasien.
Rasional
: mencegah kesalahfahaman antara perawat dan
keluarga pasien serta meningkatkan pengetahuan
keluarga pasien.
b) Kaji
fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan
otot bantu pernafasan).
Rasional
: sebagai penurunan bunyi nafas menunnjukkan
atelektasis, sedangkan grunting menunjukkan
adanya akumulasi sekret pada pulmonal dan edema.
c) Lakukan
pengisapan lendir dalam waktu kurang dari 15 detik.
Rasional
: penghisapan lendir dapat mengurangi lendir pada
saluran pernafasan sehingga jalan nafas
kembali efektif dan mencegah hipoksia.
d) Atur posisi
pasien semi fowler
Rasional
: posisi semi fowler memaksimalkan ekspansi paru
dan menurunkan usaha
bernafas
e) Kolaborasi
dengan dokter pemberian agen mukolitik.
Rasional
: agen mukolitik menurunkan keketalan dan
perlengketan sekret sehingga memudahkan
pembersihan jalan nafas.
2) Ketidakefektifan
pola nafas b.d kolaps alveoli, peningkatan usaha nafas, takipnea.
Tujuan :
Setelah dilakukan tidakan
keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi perubahan pola
nafas.
Kriteria hasil :
a) Pasien tidak sesak nafas
b) RR dalam batas normal
c) Tidak terjadi sianosis
Intervensi :
a) Beri
penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan oleh perawat pada
keluarga pasien
Rasional
: mencegah kesalahfahaman antara perawat dan
keluarga pasien serta meningkatkan pengetahuan
pasien.
b) Observasi
tanda-tanda vital
Rasional
: peningkatan pernafasan dapat menunnjukkan
adanya ketidakefektifan pengembangan ekspansi
paru.
c) Kaji
bunyi nafas.
Rasional
: indikasi adanya edema paru sekunder akibat
cedera pulmonal.
d. Kolaborasi
dengan dokter pemberian O2.
Rasional
: meningkatkan intake O2 dalam tubuh sehingga
kebutuhan O2 dalam
tubuh terpenuhi.
3) Gangguan
pertukaran gas b.d pembentukan membran hialin, cedera pulmonal.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi gangguan pertukaran gas.
Kriteri hasil :
a) Tidak terjadi dyspnea
b) Tidak ada tanda-tanda
sianosis
c) SpO2 dalam
batas normal
Intervensi :
a) Beri
penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan oleh perawat pada
keluarga pasien
Rasional
: mencegah kesalahfahaman antara perawat dan
pasien serta meningkatkan pengetahuan keluarga
pasien.
b) Obserfasi
SpO2 dalam darah
Rasional
: penurunan nilai SpO2 dalam darah dapat
menunnjukan adanya
hipoksemia dalam tubuh.
c) Observasi
warna kulit, membran mukosa dan kuku, catat adanya sianosis perifer dan
sianosis pusat
Rasional : sianosis
kuku, membran mukosa dan sekitar mulut
menggambarkan vasokontriksi atau respons tubuh
terhadap hipoksemia sistemik..
d) Berikan
oksigen lembab dengan masker CPAP sesuai indikasi.
Rasional : meningkatkan
kadar oksigen dalam tubuh pasien
sehingga tidak terjadi
hipoksia.
d. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan
dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.
Implementasi keperawatan respiratory distress syndrome sesuai dengan intervensi
yang telah dibuat sebelumnya.
e. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik
atau terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan
tenaga kesehatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adun. (2012). RDS (Respiratiry Distress
Syndrome). Retrieved January 24, 2016, from
http://adoen-berbagiilmu.blogspot.co.id/2012/04/rds-respiratiry-distress-syndrome.html
Azizah, N. (2013). Respiratory Distress
Sindrome. Retrieved January 23, 2016, from
http://akbidwh.blogspot.co.id/2013/03/respiratory-distress-syndrome-rds.html
Effendi, S. H., & Ambarwati, L.
(2014). Continuous Positive Airway Pressure ( CPAP ). Bandung. Retrieved
from http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/07/CPAP.pdf
Firdaus, A. (2010). Diagnosis dan
Penatalaksanaan Respiratory Distress Sindrome pada Neonatus. Padjajaran.
Retrieved from http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/07/Distress-Pernafasan.pdf
Hidayat, A. aziz A. (2008). Pengantar
Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Meadow, R., & Newell, S. (2005). Lecture
Notes Pediatrika (edisi Ketu). Jakarta: Erlangga.
Somantri, I. (2009). Asuhan
Keperawatan Gangguan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan(Edisi 2).
Jakarta: Salemba Medika.
Suryanah. (1996). Keperawatan Anak
untuk Siswa SPK. Jakarta: EGC.
Tobing, R. (2004). Kelainan Kardiovaskular
pada Sindrom Gawat Nafas Neonatus. Sari Pediatri, 6(1),
40–46.
Warman, F. I., Waskito, S., & Romadhon, M.
(2012). Respiratory Distress Sindrome. Retrieved January 23, 2016, from
https://www.scribd.com/doc/97547993/Respiratory-Distress-Syndrome
0 comments: