BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Para ilmuan hukum memberikan pengertian
yang berbeda terhadap konsepsi tentang politik hukum. Lj. van Appeldoorn dalam
bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut dengan istilah politik
perundang-undangan. Pengertian yang demikian dapat dimengerti
mengingat bahwa di Belanda hukum dianggap identik dengan undang-undang; hukum
kebiasaan tidak tertulis diakui juga akan tetapi hanya apabila diakui oleh
Undang-undang. Politik hukum juga dikonsepsi sebagai kebijaksanaan negara untuk
menerapkan hukum.
Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik
hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku
di wilayah suatu negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.9
Konsepsi lain tentang politik hukum dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda
Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik pembangunan
hukum. Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara berikutnya diikuti oleh Moh.
Mahfud MD yang menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan
atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy
ini terdiri dari: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan
pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua,
pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga
dan pembinaan para penegak hukum. Berdasar pengertian tersebut menurut Moh.
Mahfud terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum
yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum dibangun dan ditegakkan.
Politik hukum dapat dibedakan menjadi dua
dimensi. Pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar diadakannya
peraturan perundang-undangan. Dimensi yang pertama disebut dengan “kebijakan dasar”
atau basic policy. Dimensi yang kedua adalah tujuan atau alasan yang muncul
dibalik pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Dimensi yang kedua ini
disebut dengan kebijakan pemberlakuan atau enactment policy.
Berdasarkan pengertian tentang konsepsi politik
hukum di atas, dalam makalah ini politik hukum dimaksudkan sebagai kebijakan
yang menjadi dasar dari perubahan maupun pemberlakuan regulasi tentang hak
asasi manusia (HAM), lebih khusus lagi tinjauan tentang Perlindungan HAM bagi
Perempuan di aceh.
Perlindungan tentang HAM di Indonesia
terlihat dalam Pasal 2 amandeman dan Pasal 3 Amandeman UUD 1945. Dalam
perlindungan HAM ada tiga nilai yang esensi, yaitu universalitas, jaminan, dan
democratie33. Dalam hal ini peranan hukum merupakan hal yang pokok untuk
menjaga dan melindungi HAM dan peranan itu menjadi kewajiban bagi negara. Oleh
karena negara Indonesia adalah negara hukum, maka salah satu fungsi negara
hukum adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan
demikian, Negara hukum adalah ditujukan untuk menjamin atas hak-hak asasi.
Jaminan itu harus terbaca dan tertafsirkan dari konstitusi yang berlaku dalam
suatu negara, atau setidaktidaknya termaklumi dari praktek hukum dan
ketatanegaraan sehari-hari.
Setiap Negara mempunyai beberapa jenis hukum
yang melindungi jaminan terhadap hak asasi manusia. Negara-negara yang
menandatangi dokumen hak asasi manusia baik di tingkat regional maupun
internasional berkewajiban untuk patuh pada ketentuan dokumen tersebut. Jadi,
suatu Negara penandatangan dapat memilih untuk memberikan hak-hak lebih banyak
dibandingkan yang disediakan pada konvensi internasional, tetapi tidak kurang.
Banyak Negara menciptakan sistem pelaksanaan
hak-hak asasi manusia, yang dapat meliputi komisi hak asasi manusia untuk
menyelidiki kasus dan badan peradilan khusus yang bertugas memutuskan (yang
dapat merupakan pengadilan atau tidak) untuk memeriksa kasus-kasus. Juga,
penuntutan kasus hak asasi manusia dapat diperiksa melalui jalan yang biasa
pada suatu kasus sipil atau kasus criminal. Akhirnya, komisi ad hoc atau
permanent dapat dibentuk untuk memantau dan menulis laporan mengenai masalah
hak asasi manusia yang mendesak dan sedang berlangsung. Contohnya setelah
konfrensi perempuan sedunia di Beijing, banyak Negara telah melibatkan diri
untuk menulis laporan tentang kekerasan terhadap perempuan dan masalah lainnya
yang menyangkut hak asasi manusia kaum perempuan.
Setiap umat manusia berhak untuk menikmati
hak asasinya dan menuntut agar hak asasinya dilindungi oleh Hukum dan kebiasaan
di Negara tempat ia tinggal. Dibawah hukum hak asasi manusia internasional,
kaum perempuan maupun maupun kaum laki-laki memiliki hak atas kebebasan dasar
dan hak asasi manusia tanpa memandang ciri-ciri seperti jenis kelamin dan ras.
Tanpa memandang khususnya budaya, ajaran keagamaan dan tingkat pembangunan,
kaum perempuan diseluruh dunia berhak untuk menikmati hak asasi manusia.
Tujuan utama keberadaan
suatu negara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya.
Kesejahteraan yang dimaksudkan disini meliputi kesejahteraan materil dan juga
kesejahteraan non materil. Dalam upaya pencapaian kesejahteraan dan keadilan
tersebut, perempuan merupakan merupakan sumberdaya yang sangat
besar. Atas dasar itu maka setiap upaya yang bertujuan mempercepat dan
memfasilitasi pencapaian kesejahteraan dan keadilan tersebut harus
dilaksanakan.Perempuan sebagai manusia yang bermartabat perlu
diberdayakan kemampuannya serta mendapat perlindungan hak-haknya sesuai dengan
syari’at Islam dan hak asasi manusia.
Dalam konteks kehidupan
bernegara, negaralah (melalui pemerintah) yang bertanggung jawab untuk
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Untuk itu
negara/daerah mempunyai kewajiban untuk menata melakukan Pemberdayaan dan Perlindungan
Perempuan. Dengan melakukan berbagai upaya pemberdayaan dan perlindungan
perempuan maka potensi perempuan dapat dimaksimalkan untuk ikut serta menjadi
agen perubahan. Selain itu dengan memberikan perlindungan yang maksimal kepeda
perempuan maka kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan akan dapat
dihapuskan. Melalui Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, maka posisi
perempuan akan lebih punya kepastian hukum. Adanya kepastian, pengakuan dan
perlindungan tersebut merupakan salah satu prasyarat untuk terwujudnya
kesejahteraan dan keadilan bagi semua penduduk.
Isu perlindungan HAM bagi perempuan merupakan
isu yang telah mendunia, karena berbagai permasalahan yang muncul diakibatkan
oleh ketidak- adilan yang terus terjadi di berbagai belahan dunia. PBB (UN)
secara khusus telah mengeluarkan konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan Convention on the
Elimination of All Forms Discrimination Against Women (CEDAW) untuk
memberikan perlindungan kepada perempuan yang telah diratifikasi oleh berbagai
negara, termasuk Indonesia, melalui UU No.
7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
dan Kekerasan Terhadap Perempuan.
B. Identifikasi
masalah
Dalam CEDAW Diskriminasi terhadap perempuan
sebagaimana yang yang telah ditratifikasi dengan UU No.7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Mengenai segala
Penghapusan Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita adalah setiap perbedaan yang dibuat
atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau bertujuan mengurangi
atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil
atau apapun lainnya oleh kaum wanita atas dasar persamaan antara pria dan
wanita.
Perlindungan atas
diskriminasi juga dikuatkan dalam Pasal 28A s.d 28J UUD 1945. Pasal
ini memberi bukti bahwa hak asasi setiap orang dijamin oleh Konstitusi
tanpa pengecualian, termasuk hak perempuan. Deklarasi Wina tahun 1993
dengan tegas juga menyatakan bahwa perempuan memiliki hak asasi yang sama
dengan insan manusia lainnya, sesuai dengan harkat martabatnya. Sehingga
sudah seharusnya perempuan juga berhak atas perlindungan dan penghormatan
terhadap hak asasinya, tanpa mengenal batasan tempat dan waktu. Hal
ini juga ditegaskan oleh Pasal 45 UU No.39/1999 tentang Hak asasi
manusia (HAM) yang menjelaskan bahwa hak perempuan adalah hak
asasi manusia.
Banyaknya aturan yang berbicara tentang perlindungan
HAM bagi perempuan, bukan berarti tidak adanya masalah yang di hadapi oleh
perempuan dalam mencapai keadilan dan kesetaraan. Permasalahan yang muncul
dalam implementasi penegakan dan perlindungan HAM bagi perempuan khususnya di
Aceh, melalui tulisan ini akan dilihat dalam beberapa aspek yaitu :
-
Sejarah perkembangan HAM dan
Politik Hukum di Indonesia
-
Perkembangan regulasi HAM di Indonesia
-
Kondisi umum pelaksanaan HAM di Aceh
-
Perlindungan HAM bagi perempuan di Aceh
C. Maksud
dan tujuan penulisan
Maksud Penulisan makalah
ini adalah untuk memberikan gambaran (deskripsi) tentang kondisi pelaksanaan
Hak Asasi Manusia (HAM) dilihat dari aspek sejarah, perkembangan
regulasi serta Perlindungan HAM bagi Perempuan khususnya di aceh. Pada
gilirannya, makalah ini diharapkan dapat menjadi pendorong
untuk melakukan penguatan sebagai upaya perlindungan Hak Asasi Manusia bagi
perempuan di Aceh, dalam rangka mencapai kualitas keadilan dan kesetaraan penegakan Hak Asasi Manusia,
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Perkembangan HAM dan Politik Hukum di
Indonesia
1)
Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia Pra
Kemerdekaan Republik Indonesia
Ide-ide mengenai jaminan hak asasi manusia di
Indonesia terefleksi secara nyata dalam kultur masyarakat Indonesia.
Penyelesaian sengketa secara melalui pemuka-pemuka adat menjadi ciri bahwa
permasalahan hak asasi manusia memiliki urgensi krusial untuk diselesaikan.
Percikan pemikiran mengenai hak asasi manusia pada masa pra kemerdekaan dapat
dibaca dalam kumpulan surat-surat R.A. Kartini yang berjudul Habis Gelap
Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) yang menceritakan betapa
pentingnya hak atas pendidikan dan persamaan derajat, selanjutnya pada
karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim,
Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di
Volksraad yang isinya adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah
antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang
sama atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan
judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia Belanda.
Dalam konteks pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial dalam tulisan yang dimuat dalam Goeroe Desa.
Dalam konteks pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial dalam tulisan yang dimuat dalam Goeroe Desa.
Boedi Oetomo memiliki tujuan yaitu Medewerking
to de verwezenlijking van de Indonesische Eenheidsgedachte (turut
berusaha untuk melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia. Selain itu, Boedi
Oetomo telah pula memperlihatkan kepeduliannya tentang konsep perwakilan
rakyat. Langkah tersebut diambil sebagai bentuk kewajiban mempertahankan negeri
di bawah pemerintahan kolonial. Selanjutnya, pemikiran hak asasi manusia pada
Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi tokoh organisasinya seperti Moh.
Hatta, Nazir, Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A.A Maramis, dan lain-lain. Pemikiran
itu lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right
of self-determination).
Selanjutnya, Sarekat Islam merupakan
organisasi kaum santri yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis. Konsep
HAM yang dikemukakan oleh organisasi ini menekankan pada usaha-usaha untuk
memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi
rasial. Selanjutnya, Partai Komunis Indonesia yang merupakan partai yang
berlandaskan pada Marxisme. Dari segi pemikiran HAM partai ini lebih condong
pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan
alat-alat produksi. Organisasi yang juga konsen terhadap HAM ada pada Indische
Partij yang memiliki konsep pemikiran HAM paling yakni hak untuk mendapatkan
kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan, Douwes Dekker
menyatakan bahwa kemerdekaan itu harus direbut. Kemudian Partai Nasional
Indonesia yang dalam konteks pemikiran HAM mengedepankan hak untuk memperoleh
kemerdekaan (the right of self determination). Adapun pemikiran HAM
dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan oleh Moh. Hatta
setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan dan merupakan wadah perjuangan
yang menerapkan taktik non kooperatif melalui program pendidikan politik,
ekonomi dan sosial.
Perdebatan pada sidang BPUKPI mengenai perlu
dimasukkannya hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia menjadi tonggak
penting dalam diskursus pemikiran hak asasi manusia selanjutnya. Soekarno dan
Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan
dalam pasal-pasal konstitusi. Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan
pada pandangan mengenai dasar negara yang dalam istilah Soekarno disebut dengan
“Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut Staatsidee.
Dasar negara Indonesia tidak berlandaskan pada paham liberalisme dan
kapitalisme namun berlandaskan pada asas kekeluargaan dan gotong royong. Oleh
sebab itu pemikiran mengenai hak asasi manusia tidak perlu dicantumkan dalam
konstitsui. Hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara
integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara.
Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya
mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Hatta
menegaskan kekhawatirannya jika Indonesia nantinya akan terjebak pada pemberian
kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara sehingga menjadi negara dengan
otoritarianisme. Yamin dalam pidatonya kemudian menyatakan “Saya menolak segala
alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya.
Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan
liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan,
yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar,” Pendapat Hatta dan Yamin didukung
pula oleh anggota BPUPKI yang lain yakni Liem Koen Hian, yang mengusulkan
perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid
van woorden(pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan).
Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas
berakhir dengan suatu kompromi. Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta,
Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar,
tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak
tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undang undang, tetapi juga dalam arti
konseptual. Konsep yang digunakan adalah “Hak Warga Negara” (“rights of the
citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights).
Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu
berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham natural rights yang menyatakan
bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir
sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan
sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian of human
rights”
2)
Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia Pasca
Kemerdekaan Republik Indonesia
Pada 1945-1950 Pemikiran HAM pada awal kemerdekaan
masih menekankan pada hak untuk merdeka (self detemination), hak kebebasan
berserikat, melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk
menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Hal ini tidak lepas dari fakta
sejarah yang menunjukkan upaya bangsa Indonesia untuk mempertahankan
kemerdekaan dari tentara sekutu yang telah melancarkan agresi militer Belanda I
dan agresi militer Belanda II. Puncak penegakan hak asasi manusia pada masa ini
ditandai dengan penyerahan kedaulatan melalui perjuangan diplomasi pada
Konferensi Meja Bundar.
Pada tahun 1950-1959 Presiden Soekarno pada
masa ini memerintah dengan menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia 1950 yang berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli
1959. Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem
kabinet parlementer. Ada beberapa pemikiran penting mengenai perkembangan hak
asasi manusia pada masa ini yakni:
a. Semakin
banyak tumbuh partai politik dengan beragam idiologinya masing-masing.
b. Kebebasan
pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya.
b. Pemilihan
umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair
dan demokratis.
a. Parlemen
atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat
menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil-wakil rakyat dengan melakukan
kontrol/pengawasan yang semakin efektif terhadap eksekutif.
b. Wacana
dan pemikiran tentang ham memperoleh iklim yang kondusif, sejalan dengan
tumbuhnya sistem kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
Pada tahun 1959-1966 Pada periode ini, sistem
pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi
penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini
kekuasaan terpusat pada tangan presiden. Akibatnya Presiden melakukan tindakan
inkonstitusional baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran
infrastruktur politik. Dalam perspektif pemikiran hak asasi manusia, telah
terjadi pengekangan hak asasi masyarakat terutama hak sipil dan hak politik.
Dengan kata lain telah terjadi restriksi atau pembatasan yang ketat oleh
kekuasaan, sehingga mengalami kemunduran (set back) sebagai sesuatu yang
berbanding terbalik dengan situasi pada masa Demokrasi Parlementer.
Dengan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945,
maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam Konstitusi
RIS dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali. Pada masa
ini Kebebasan partai dibatasi dan Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Era Demokrasi Terpimpin ini
merupakan kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam
menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan
militer menjadi wabah.
Pada tahun 1966-1998 Perdebatan itu muncul
pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah
membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia yang menghasilkan
“Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak
serta Kewajiban Warga Negara”. Pada masa ini banyak terjadi pelanggaran hak
asasi manusia yang terjadi secara sistematis dan sitemik seperti kasus Tanjung
Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Namun perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia ini telah menunjukkan
sikap akomodatif dari pemerintah dalam memenuhi tuntutan penegakan hak asasi
manusia yakni dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM)
pada tanggal 7 Juni 1993 berdasarkan KEPRES No. 50 tahun 1993. Pada
tahun 1998-kini Perkembangan pemikiran hak asasi manusia pada masa reformasi
ini kembali mengalami progres yang signifikan. Hal ini ditandai dengan
ratifikasi ketentuan pengesahan International Covenant On Economic, Social and
Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan
Budaya) melalui UU No. 11 Tahun 2005 serta Pengesahan International Covenant On
Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
melalui UU No. 12 Tahun 2005. Pada periode reformasi ini muncul kembali
perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia yang
akhirnya terwujud dalam amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang memuat mengenai Pasal khusus yang mengatur tentang hak asasi
manusia yakni pada pasal 28A-J yang mengatur hak asasi sipil, politik, ekonomi,
sosial dan budaya dan sekaligus mengatur mengenai tanggung jawab negara akan
pemenuhan hak asasi tersebut. Dalam konteks penegakan hak asasi manusia, pada
masa ini terbentuk pengadilan HAM yang khusus mengadili pelanggaran HAM berat.
Pasang surut mengenai pemikiran hak asasi
manusia menjadi ciri bahwa kehidupan masyarakat yang mengalami dinamika. Hal
ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipegang oleh bangsa Indonesia, adat
istiadat, ketentuan-ketentuan hukum internasional serta budaya hukum masyarakat
nasional dan internasional. Dinamika mengenai pemikiran hak asasi manusia ini
diikuti dengan dinamika pengaturan hak asasi manusia dalam instrumen hukum
nasional. Penegakan hak asasi manusia bukan sekadar kewajiban moral, tetapi
merupakan kewajiban hukum. Moral dalam arti luas mengandung makna human
caracter, conduct, intention, social relation sehingga dalam moral bermakna
human conduct. Tingkah laku bermoral tidak saja berkaitan dengan kelakuan baik,
tetapi tingkah laku yang mengandung makna dan isi adanya kepedulian sosial
dalam bermasyarakat. Bentuk tingkah laku tersebut dapat dimasukkan ke dalam
kelompok etika. “ethics is also moral philosophy...ethics is the study
of human custom...Hence ethics is the study of right and wrong, of good and
evil in human conduct.
B.
Perkembangan regulasi HAM di Indonesia
Pada dasarnya HAM terdapat dalam UUD 1945 BAB
X-A pasal 28-A sampai dengan pasal 28-J. Sebagian kalangan menafsirkan, dengan
adanya dasar hukum tersebut maka masyarakat Indonesia berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum (UUD 1945 Amandemen ke-2 pasal 28-D ayat 1). Memang
jika ditilik dari defenisi HAM maka di Indonesia tercatat banyak sekali kasus
yang terjadi khususnya di bidang HAM. Misalnya kasus-kasus penggusuran
rumah-rumah warga yang dibangun di sekitar jembatan, pembersihan para pedagang
kaki lima yang sering meresahkan para pengguna jalan raya seperti para pengguna
kendaraan bermotor dan para pejalan kaki.
Pada masa menjelang peralihan pemerintahan
dari masa Orde Baru ke masa Reformasi banyak sekali kejadian menyangkut
pelanggaran HAM ini. Peristiwa 1998 yang berujung penguduran diri Presiden
Soeharto pada waktu itu sebetulnya adalah puncak dari segela peristiwa yang
terjadi sebelumnya. Pada masa pemerintahan yang sangat represif,
banyak aktifis yang tiba-tiba hilang tak tahu di mana rimbanya. Disinyalir kuat
mereka telah diculik dan dibunuh oleh tangan-tangan penguasa pada waktu itu. Aksi
demo besar-besaran mahasiswa dari seluruh Indonesia juga menyimpan sejumlah
kasus pelanggaran HAM oleh aparat keamanan terhadap rakyat sipil. Semuanya
berlangsung secara sporadic dan sangat massif pada waktu itu. Karena institusi
hokum telah dikuasai oleh penguasa, maka HAM adalah alat yang digunakan untuk
menjerat para pelaku pelanggaran tersebut. Bahkan ketika masa
reformasi, cara-cara pelenyapan aktifis masih juga terjadi. Masih segar dalam
ingatan kita bagaimana almarhum Munir yang tewas secara mendadak dalam
perjalanannya ke Belanda. Di dalam darahnya ditemukan racun jenis arsen yang
melewati ambang batas normal. Diduga kuat dia telah dengan sengaja diracun. Maka
popularitas HAM ini semakin mendapat tempat di negeri ini. Telahpun masuk ke
dalam struktur Negara melalui pembentukan Komisi Nasional (Komnas) HAM.
Dan yang perlu diketahui adalah bahwa dalam
negara hukum (rechtstaat), bukan saja warga negara yang harus tunduk dan
taat kepada hukum, tetapi negara beserta seluruh komponen penyelenggara negara
termasuk Komnas HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk melindungi dan
menegakkan HAM juga wajib taat kepada hukum. Hal ini dipertegas sendiri oleh
pasal 67 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM: “Setiap orang yang ada di
wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan
perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak
asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia .”
Sungguh merupakan hal yang tidak dapat
disangkal bahwa dalam konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM telah
dijamin hak setiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan beribadah menurut
agama yang diyakininya. Akan tetapi hukum juga yang mengatur bahwa dalam
melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan itu, tentu harus mengedepankan unsur
ketertiban dan kehormatan nilai-nilai kesucian ajaran agama/kepercayaan pihak
lain.
Maka jika kita mengakui universalitas HAM
disandarkan pada standar nilai dan otoritas, maka kita boleh dinafikan adanya
sistim pemeliharaan kesucian ajaran suatu agama. Islam juga mempunyai standar
nilai dan otoritas dalam menjaga kesucian dan keagungan ajarannya yakni enam
rukun iman dan lima rukun Islam. Oleh karenanya jika ada aliran kepercayaan
menatasnamakan Islam, tetapi menyimpang dari standar nilai Islam, inilah yang
disebut ajaran sesat. Merekalah orang yang melakukan penodaan agama.
Pada saat ini HAM telah menjadi issue global,
yang tidak mungkin diabaikan dengan dalih apapun termasuk di Indonesia. Konsep
dan implementasi HAM di setiap negara tidak mungkin sama, meskipun demikian
sesungguhnya sifat dan hakikat HAM itu sama. Dalam hal ini, ada tiga konsep dan
model pelaksanaan HAM di dunia yang dianggap mewakili, masing-masing di
negara-negara Barat, Komunis-Sosialis dan ajaran Islam. Adanya HAM menimbulkan
konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel
dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya
akan menimbulkan pelanggaran HAM itu sendiri. Khusus tentang implementasi HAM
di Indonesia, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di
Indonesia dan belum kondusifnya mekanisme penyelesaiannya,, tetapi secara umum
baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda
kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan
perundang-undangan serta dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan
berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.
Penuangan konsep HAM dalam pelbagai peraturan
perundangan tidak boleh dikatakan purna atau tidak purna, karena sesungguhnya
pencantuman pernyataan HAM di dalam peraturan perundangan itu bermaksud awal,
menegaskan kembali hak yang telah ada dan mungkin lebih dahulu disebut dalam
beragam peraturan perundangan lain. Meski, akomodasi mengenai HAM dalam
berbagai peraturan perundangan lain itu tidak langsung dan agak samar-samar.
Mengapa konstitusi kita (UUD 1945) tidak banyak memuat ketentuan mengenai HAM,
mulanya adalah karena pada waktu itu awal pembentukan negara dan Konstitusi itu
sendiri. Kita beranggapan, cukup 'diwakili' oleh Pembukaan UUD 1945
sehingga dalam Batang Tubuh (pasal-pasal)-nya tidak dijabarkan lagi.
Akan tetapi kini ternyata kita 'terpaksa' mencantumkan/menjabarkannya ke
dalam pasal-pasal UUD 1945. Bahkan melalui amandemen kedua, kita
menambah dan memperjelas ketentuan berkenaan HAM dalam satu bab tersendiri,
yakni Bab XA dari pasal 28A hingga 28 J UUD 1945. Hal ini bisa jadi dapat
dianggap masih kurang, meski sebenarnya telah cukup karena nantinya secara
rinci juga akan dijabarkan ke dalam peraturan perundangan khusus berkenaan HAM.
Lahirnya UU Nomor 33 Tahun 1999 tentang HAM
dan seperangkat peraturan perundangan yang ada mengenai HAM sebagai
penjabaran lebih lanjutnya, termasuk UU yang berasal dari ratifikasi konvensi
internasional mengenai HAM, sesungguhnya menguatkan adanya indikasi bahwa RI
berupaya sungguh-sungguh memperhatikan persoalan yang berkenaan dengan HAM.
Meski demikian, karena konsepsi HAM yang tidak harus sama antara satu negara
dengan negara lainnya terutama karena persoalan ideologi dan sebagainya, maka
yang disebut sebagai 'pengakuan' HAM itu menjadi berbeda pula. Dengan kata
lain, terdapat batasan dalam penerimaan konsepsi HAM tersebut.
Nilai persamaan dan kebebasan yang ada dalam
konsepsi HAM khususnya yang berasal dari negara Barat, berbeda dengan negara
Timur dan RI. Landasan yang dipergunakan Indonesia dalam memahami HAM adalah
agama, nilai luhur budaya bangsa yang berakar pada Pancasila sebagai ideologi
negara, juga nilai moral yang berlaku universal. Jika fungsi peraturan
perundangan membatasi HAM dalam pelaksanaannya, maka tentu dimaknai lebih
dahulu bahwa tujuannya adalah dalam rangka perlindungan dan jaminan bagi
pelaksanaan HAM. Tegak dan terlaksananya HAM bila kewajiban asasi dilaksanakan,
dan untuk melaksanakan semua ini diperlukan peraturan perundangan.
Membatasi pelaksanaan HAM tidak sama dengan
menghilangkan atau merampas hak azasi orang, karena pada dasarnya HAM itu
bersifat inviolable (tidak boleh diganggu gugat keabsahannya) dan inelienable
(tidak boleh dicabut atau diserahkan pada siapa pun yang berkuasa).
Perlindungan terhadap HAM melalui peraturan
perundangan di Indonesia, baik dalam bentuk UU yang meratifikasi
berbagai konvensi internasional mengenai HAM maupun UU organik yang sengaja
diterbitkan dalam rangka penjabaran amanah konstitusi (UUD 1945). Demikian pula
bentuk peraturan perundangan lain, seperti keputusan presiden, bahkan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU (Perpu) pernah dikeluarkan.
Peraturan perundangan dimaksud, antara lain (HAM dalam
aturan internasional):
1.
Charter of United Nations
1945;
2.
Universal Declaration of Human Rights
1948;
3.
Convention on the Political Rights of Women
1952
(Konvensi mengenai Hak Politik Perempuan Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958);
4.
UU Nomor 7 Tahun 1984 yang meratifikasi
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention
on the Elimination of All Form of Discrimination Against Woman 1979);
5.
Convention on The Rights of the Child
1989 (Konvensi mengenai Hak-hak Anak) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002;
6.
UU Nomor 5 Tahun 1998 yang meratifikasi
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam,
Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against
Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Teratment or Punishment 1987);
7.
UU Nomor 29 Tahun 1999 yang meratifikasi Konvensi
Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention on
Elimination Rasial Discrimination 1965);
8.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 yang
meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;
dan
9.
Undang-undang No. 12 Tahun 2005 yang
meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Sedangkan Instrumen HAM Nasional :
1. UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. UU
Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM;
3. UU
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
4. TAP
MPR XVII / MPR / 1998 Tentang HAM;
5. Keppres
No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM; dan
6. Keppres
No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)
C.
Kondisi Umum Pelaksanaan HAM di Aceh Pasca
MoU Helsinki
Utusan khusus sekjen PBB Hina
Jailani perempuan kelahiran Lahore berkebangsaan Pakistan dalam kunjungannya ke
aceh pasca tsunami menyatakan bahwa melihat kondisi para pembela ham di
Aceh saat ini lebih baik daripada masa konflik .pernyataan staf
khusus PBB yang membidangi situasi para pembela ham dibidang perempuan itu
dikatakan setelah melihat perkembangan di provinsi aceh pasca penanda tanganan
mou antara pemerintah RI dengan Gam dan sejalan dengan itu DR.Zaini Abdullah
berpendapat tentang perdamain aceh diperlukan sebuah pemahaman untuk mendorong
agar perdamaian di Aceh tetap berlanjut abadi. Salah satunya, dengan melakukan
pendekatan persuasif dan berbicara dari hati ke hati apabila ada sesuatu hal
yang dinilai belum berjalan sesuai dengan komitmen yang telah disepakati.
Walaupun Kondisi umum ham di aceh pasca
perjanjian damai antara pemerintah RI dan GAM menjadi lebih baik dibandingkan
dengan zaman konflik namun bukan berarti pelanggaran ham terhadap kaum
perempuan tidak lagi ada sama sekali misalnya saja kasus pemerkosaan yang
dilakukan oleh 3 oknum anggota Wilyahatul Hisbah (WH) kota langsa .hal ini
membuktikan bahwa perlindungan ham terhadap perempuan belum menjadi prioritas
oleh semua kalangan.
Mengenai pembentukan pengadilan ham untuk
pelanggaran ham terhadap perempuan dimasa lalu sampai saat ini belum
terbentuk,baik dalam bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) maupun
Pengadilan HAM untuk Aceh. Komisi Bersama Penyelesaian Klaim sebagaimana
diamanatkan MoU Helsinki, juga belum dibentuk. Hal ini lebih dimungkinkan oleh
persoalan politis dalam negri maupun kemauan yang kurang dari berbagai pihak
namun walaupun demikian secara garis besar kondisi ham secara umum di aceh
pasca mou antara RI dan Gam lebih baik dibandingkan dengan kondisi Ham sewaktu
konflik bersenjata pra mou Helsinki ,pendapat ini sejalan dengan apa yang
dinyatakan staf khusus PBB bagian perempuan Hina Jailani.
D.
Perlindungan HAM Bagi Perempuan di Aceh
Hak Asasi Manusia termasuk Hak Perempuan
sudah dimuat dalam instrumen Hak Asasi Manusia Umum. Akan tetapi kenyataannya
hak perempuan secara khusus belum tercantum dalam daftar hak-hak yang
dilindungi atau belum diakui sebagai bagian dari konsensus universal. Sehingga
perempuan harus menanggung semua akibat pelanggaran hak perempuan yang masih
terus terjadi dan seakan tidak dilihat sebagai pelanggaran terhadap hak asasi
manusia hingga saat ini. Perlakukan yang tidak adil, dan pengabaian terhadap
hak-hak perempuan juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang
berkeadilan.
Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia
dengan UU No. 7 tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai segala
Penghapusan Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, barulah mencantumkan
secara spesifik tentang hak asasi perempuan. Akan tetapi prinsip-prinsip yang
erkandung dalam CEDAW belum sepenuhnya terakomodir dalam peraturan
perundang-undangan, maupun dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks Aceh, setelah MoU Perdamaian
Helsinki, bencana tsunami, dan dalam pengimplementasian Syari’at Islam,
pemenuhan hak-hak perempuan masih jauh dari harapan. Ketidakadilan dan
kekerasan terhadap perempuan terus terjadi dan sulit untuk dihapuskan, baik
dalam lingkup domestik maupun publik.
Oleh karenanya, untuk membangun Aceh baru,
memperhatikan keadilan dan pemenuhan hak-hak perempuan menjadi keharusan.
Karena dengan memperhatikan keadilan bagi perempuan sama dengan membangun
potensi perempuan untuk mewujudkan Aceh baru yang lebih berkeadilan.
Wilayah Nanggroe Aceh Darssalam,
memiliki jumlah penduduk saat ini 4.031.589 jiwa terdiri
atas 2.005.763 jiwa (49%) laki-laki dan 2.025.826 jiwa (52%)
perempuan. Melihat angka statistik tersebut secara kuantitas perempuan memiliki
sumberdaya yang lebih besar daripada laki-laki sehingga dapat memberi
kemungkinan yang lebih besar sebagai subyek atau stakeholder pembangunan di
Aceh. Oleh karenanya potensi ini harus dapat dimanfaatkan secara optimal agar
potensi ini tidak berubah menjadi beban pembangunan.
Jauh sebelum UUPA ada, bahkan jauh sebelum
Indonesia merdeka, di Nanggroe Aceh Darussalam “tempoe doeloe” pengakuan
terhadap eksistensi perempuan telah sangat maju. Pengakuan tersebut ditabalkan
dalam hadih maja Aceh yang cukup populer, yaitu : Adat bak
Poe Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang,Reusam bak
Laksamana. Adat berkaitan dengan urusan tata pemerintahan. Hukom
berkaitan dengan pengelolaan urusan keagamaan. Qanun menyangkut dengan masalah
peraturan. Sedangkan reusam berkenaan dengan perihal kebiasaan.
Putro Phang yang dimaksudkan dalam hadih maja
di atas adalah perempuan, permaisuri, istri Sultan Iskandar Muda (Poe
Teumeureuhom) yang berasal dari Pahang Malaysia. Sehingga, adanya
pernyataan “Qanun bak Putro Phang”, berarti, masalah peraturan merupakan
urusan yang ditangani atau diikutkan perempuan. Putro Phang,
mengisyaratkan betapa penting dan strategi`snya peran perempuan di Aceh saat
itu.
Undang-undang tentang
Pemerintahan Aceh, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006, posisi perempuan
telah ditegaskan secara juridis formal. Dalam undang-undang tersebut, posisi dan porsi perempuan diharuskan ada
secara memadai pada 4 (empat) bidang kehidupan, yaitu dalam areal
politik, majelis pertimbangan ulama (MPU), ekonomi, dan pendidikan. Di samping
mengatur tentang posisi dan porsi perempuan dalam bidang-bidang itu, malah
dalam Pasal 231 ayat (1) UUPA tersebut menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh dan
Pemerintahan Kabupaten/Kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan
melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya pemberdayaan yang
bermartabat.
Penyaduran prinsip-prinsip HAM
sudah banyak diterapkan dalam regulasi nasional, diantaranya,yakni;
1.
UU No. 12 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO)
2.
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT)
3.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
4.
Amandemen UUD 1945 khususnya pasal Pasal 28 I
(2), yang menegaskan bahwa “Setiap orang
berhak bebas atas perlakuan yang bersifat iskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.”
Instruksi
Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Jender Dalam Program
PembangunanNasional
Sementara itu untuk regulasi local Aceh
perlindungan HAM bagi perempuan juga diatur dalam :
1.
Qanun
No. 3 thn 2007 ttg Tata cara penyusunan
Qanun
2.
Qanun
No. 5 thn 2007 ttg Susunan organisasi dan tata cara kerja Dinas,
lembaga, tehnis daerah dan lembaga daerah Provinsi (khususnya yang
mengatur tentang Badan pemberdayaan dan Perlindungan Anak)
3.
Qanun No. 6 ttg Pemberdayaan dan Perlindungan
Perempuan
4.
Piagam hak-hak perempuan
Dari segi kebijakan yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, realitasnya belum sepenuhnya
mengakomodir kepentingan-kepentingan perempuan, termasuk perempuan
korban kekerasan. Dalam beberapa kebijakan yang
ada, substansinya perlindungan Hak Asasi perempuan
masih berada pada posisi sub ordinasi dari laki-laki dan ada
pembatasan ruang gerak dan posisi perempuan.
1. HAM
dan bidang Politik
-
Lingkungan Eksekutif
Posisi perempuan di Pemerintahan di seluruh
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dari 6000 lebih desa, hanya 6 perempuan yang
menjadi Keusyiek. 4 perempuan menjadi Camat, tidak ada perempuan
menjadi Bupati/ Walikota atu Gubernur. Dari 71 posisi Eselon II di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam hanya 2 orang perempuan. Dari 294 posisi
Eselon III hanya 25 orang perempuan, dan dari 1.022 posisi Eselon IV hanya 167
orang perempuan.
-
Lingkungan Yudikatif
Pada lembaga yudikatif, di tingkat Pengadilan
Tinggi, dari 9 (sembilan) hakim yang ada 4 (empat) orang di antaranya
adalah perempuan. Di Kejaksaan Tinggi, dari 31 jaksa 6 (enam) di antaranya
adalah perempuan. Sementara untuk Pengadilan Tinggi Agama, dari 10 hakim yang
ada, tidak ada satupun perempuan. Dan untuk Pengadilan Agama (Mahkamah
Syari’yah), dari 138 orang hakim agama, hanya 15 orang perempuan (BRR, 2006).
-
Lingkungan Legislatif
Hasil pemilu tahun 2004
Jumlah Kursi
|
Legislative perempuan
|
PAW
|
|
DPRA
|
69
|
4
|
+ 3
|
DPRK
|
580
|
41
|
+ 7
|
Total
|
645
|
45
|
+ 10
|
Hasil
Pemilu 2009
Jumlah Kursi
|
Legislative perempuan
|
|
DPRA
|
69
|
4
|
DPRK
|
645
|
45
|
Total
|
714
|
49
|
2. HAM
dan bidang Pendidikan
Berdasarkan hasil
penelitian yang dibuat oleh sarker BRR, pemulihan peningkatan kesejahteraan
anak dan perempuan 2006, diperoleh gambaran bahwa persentase terbesar berada
pada pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah(MI). Ironisnya di
Kabupaten Bireuen, Aceh Barat Daya dan Aceh Jaya lebih separoh dari responden
memiliki tingkat pendidikan SD/ MI dan di seluruh kabupaten masih terdapat
perempuan yang tidak tamat SD/ MI (rerata 17,88 %), Kabupaten Pidie memiliki
persentase terbesar (37,50 %).
Dengan
demikian sebahagian besar perempuan korban konflik memiliki kualitas
pendidikan yang cenderung rendah. Secara konseptual, seseorang yang memiliki
pendidikan rendah diperkirakan akan memiliki wawasan dan pengetahuan yang
rendah pula. Dengan pengetahuan yang rendah diperkirakan ketajaman dalam
menganalisis sesuatu persoalanpun menjadi lemah. Akibatnya, jika orang tersebut
menghadapi masalah, maka terlalu sulit bagi mereka untuk keluar dari
permasalahan tersebut.
3. HAM
dan bidang Hukum
Kekerasan dan diskriminasi
terhadap perempuan terus berlanjut. Baik yang terjadi dalam konflik bersenjata,
dalam situasi paska bencana alam gempa dan tsunami, dalam rumah tangga maupun
di lingkup publik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa catatan lembaga-lembaga
local yang ada di Aceh seperti di bawah ini :
a)
Mitra
Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI), tahun 2006 menerima 100 kasus dan pada
tahun 2007 -2008 meningkat menjadi 242 kasus.
b)
Kelompok
Kerja transformasi gender Aceh (KKTgA), tahun 2006 dan tahun 2007 menerima 141
kasus.
c)
Lembaga
Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), tahun
2006 menerima 36 kasus dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 114
kasus.
d) Ruang Penanganan Kasus(RPK), tahun 2006 dan tahun 2007
menerima 249 kasus.
Di masa konflik bersenjata
Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 217 kasus, 22 perempuan dan 17
anak-anak. Penghilangan paksa 123 korban, 4 perempuan dan
6 anak-anak. Penyiksaan dan pelecehan sexual 214 korban,
19 perempuan dan 21 anak-anak, sedang perkosaan 28 perempuan dan 8 anak-anak.
Kasus (Kontras).
Walaupun ada perempuan yang memilih atau
terpaksa menjadi kombatan, perempuan pada umumnya berada diluar lingkaran konflik, tetapi
menjadi kelompok yang sangat rentan dan menanggung beban paling
banyak. Perempuan menjadi pengungsi, korban kekerasan dan
perkosaan,dijadikan sasaran perantara, dijadikan alat bargaining politik pihak
yang bertikai, kehilangan tempat tinggal dan orang-orang dicintai). Kabar gembiranya adalah, walaupun menghadapi penderitaan
yang luar biasa, perempuan Aceh tidak menyerah. Mereka menjadi
kepala keluarga, pencari nafkah utama, meneruskan kehidupan sosial, mengurus
anak serta agen pembaharuan dan perdamaian.
Struktur (bentukan)
pikiran, anggapan, pandangan dan tindakan yang hidup dalam masyarakat tentang
peran, posisi perempuan yang dikaitkan dengan seksualitas perempuan
sehingga menyebabkan perempuan secara tidak seimbang ditempatkan dan diyakini
sebagai peran, posisi dan kodrat yang harus ditetapkan dan dijalankan bagi
perempuan dan untuk menjadi perempuan dalam suatu relasi budaya masyarakat.
Pola pandang ini didasarkan pada budaya dan pemahaman agama. Akibatnya ada Pola
relasi sosial yang timpang antara perempuan dan laki-laki. (Dikutip dari
Azriana, Kekerasan Berbasis Gender, 2006).
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari penulisan makalah
di atas maka di sini dapat di ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari sejarah perkembangan politik hukum
terhadap perlindungan HAM bagi kaum perempuan di Indonesia serta khususnya di
Aceh, di mana sejak dari dahulu hingga sekarang pemerintah sangat memperhatikan
tentang kebebasan atau gender terhadap kaum perempuan dengan banyak lahirnya
Undang-undang dan Qanun.
2. Dalam bidang regulasi perlindungan HAM bagi perempuan di
Indonesia mendapat perhatian yang sangat serius oleh pemerintah di mana sudah
mengamandemen Undang-undang Dasar dan banyak melahirkan Undang-undang terhadap
kebebasan kaum perempuan.
3. Meskipun sudah banyak Undang-undang dan Qanun terhadap
perlindungan HAM bagi kaum perempuan khususnya di Aceh, akan tetapi kondisi
dalam pelaksanaan masih terdapat diskriminasi terhadap kaum perempuan di mana
keterlibatan kaum perempuan baik di bidang pemerintahan Aceh maupun legislatif
Aceh masih belum sesuai dengan aturan-aturan yang telah di buat.
4. Perlindungan HAM bagi Perempuan Aceh yang di atur dalam
Undang-Undang Indonesia dan Qanun walaupun sudah banyak di atur dalam
Undang-undang maupun dalam Qanun akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak
terdapat pelanggaran-pelanggaran bagi kebebasan kaum perempuan
serta diskriminasi perempuan serta upaya-upaya apa saja yang di
tempuih oleh pemerintah dalam penegakan hukum tersebut masih sangat
lemah pengaturannya baik terdeapat dalam Undang-undang
maupun Qanun.
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................... .... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................. .... ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah................................................................... .... 1
B. Identifikasi masalah......................................................................... .... 4
C. Maksud dan tujuan penulisan.......................................................... .... 5
BAB
II PEMABAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan HAM dan Politik Hukum di Indonesia...... 6
B.
Perkembangan
regulasi HAM di Indonesia..................................... .... 11
C.
Kondisi Umum
Pelaksanaan HAM di Aceh Pasca MoU Helsinki.. .... 17
D.
Perlindungan HAM Bagi Perempuan di Aceh................................. .... 18
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan...................................................................................... .... 23
DAFTAR
PUSTAKA
|
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan segala rahmatNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah dengan judul “Politik Hukum dalam
bidang HAM”
Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan baik isi maupun
susunannya. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis juga
bagi para pembaca.
Indramayu,
Januari 2018
Penulis
|
0 comments: