Welcome Guys

Pages

Send Quick Massage

Name

Email *

Message *

Tuesday, January 23, 2018

MAKALAH Politik Hukum dalam bidang HAM

by endar  |  in HUKUM at  January 23, 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Para ilmuan hukum memberikan pengertian yang berbeda terhadap konsepsi tentang politik hukum. Lj. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut dengan istilah politik perundang-undangan.  Pengertian yang demikian dapat dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum dianggap identik dengan undang-undang; hukum kebiasaan tidak tertulis diakui juga akan tetapi hanya apabila diakui oleh Undang-undang. Politik hukum juga dikonsepsi sebagai kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum.
Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.9 Konsepsi lain tentang politik hukum dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik pembangunan hukum. Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara berikutnya diikuti oleh Moh. Mahfud MD yang menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy ini terdiri dari: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Berdasar pengertian tersebut menurut Moh. Mahfud terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum dibangun dan ditegakkan.
Politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi. Pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar diadakannya peraturan perundang-undangan. Dimensi yang pertama disebut dengan “kebijakan dasar” atau basic policy. Dimensi yang kedua adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Dimensi yang kedua ini disebut dengan kebijakan pemberlakuan atau enactment policy.
Berdasarkan pengertian tentang konsepsi politik hukum di atas, dalam makalah ini politik hukum dimaksudkan sebagai kebijakan yang menjadi dasar dari perubahan maupun pemberlakuan regulasi tentang hak asasi manusia (HAM), lebih khusus lagi tinjauan tentang Perlindungan HAM bagi Perempuan di aceh.
Perlindungan tentang HAM di Indonesia terlihat dalam Pasal 2 amandeman dan Pasal 3 Amandeman UUD 1945. Dalam perlindungan HAM ada tiga nilai yang esensi, yaitu universalitas, jaminan, dan democratie33. Dalam hal ini peranan hukum merupakan hal yang pokok untuk menjaga dan melindungi HAM dan peranan itu menjadi kewajiban bagi negara. Oleh karena negara Indonesia adalah negara hukum, maka salah satu fungsi negara hukum adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian, Negara hukum adalah ditujukan untuk menjamin atas hak-hak asasi. Jaminan itu harus terbaca dan tertafsirkan dari konstitusi yang berlaku dalam suatu negara, atau setidaktidaknya termaklumi dari praktek hukum dan ketatanegaraan sehari-hari.
Setiap Negara mempunyai beberapa jenis hukum yang melindungi jaminan terhadap hak asasi manusia. Negara-negara yang menandatangi dokumen hak asasi manusia baik di tingkat regional maupun internasional berkewajiban untuk patuh pada ketentuan dokumen tersebut. Jadi, suatu Negara penandatangan dapat memilih untuk memberikan hak-hak lebih banyak dibandingkan yang disediakan pada konvensi internasional, tetapi tidak kurang.
Banyak Negara menciptakan sistem pelaksanaan hak-hak asasi manusia, yang dapat meliputi komisi hak asasi manusia untuk menyelidiki kasus dan badan peradilan khusus yang bertugas memutuskan (yang dapat merupakan pengadilan atau tidak) untuk memeriksa kasus-kasus. Juga, penuntutan kasus hak asasi manusia dapat diperiksa melalui jalan yang biasa pada suatu kasus sipil atau kasus criminal. Akhirnya, komisi ad hoc atau permanent dapat dibentuk untuk memantau dan menulis laporan mengenai masalah hak asasi manusia yang mendesak dan sedang berlangsung. Contohnya setelah konfrensi perempuan sedunia di Beijing, banyak Negara telah melibatkan diri untuk menulis laporan tentang kekerasan terhadap perempuan dan masalah lainnya yang menyangkut hak asasi manusia kaum perempuan.
Setiap umat manusia berhak untuk menikmati hak asasinya dan menuntut agar hak asasinya dilindungi oleh Hukum dan kebiasaan di Negara tempat ia tinggal. Dibawah hukum hak asasi manusia internasional, kaum perempuan maupun maupun kaum laki-laki memiliki hak atas kebebasan dasar dan hak asasi manusia tanpa memandang ciri-ciri seperti jenis kelamin dan ras. Tanpa memandang khususnya budaya, ajaran keagamaan dan tingkat pembangunan, kaum perempuan diseluruh dunia berhak untuk menikmati hak asasi manusia.
Tujuan utama keberadaan suatu negara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya. Kesejahteraan yang dimaksudkan disini meliputi kesejahteraan materil dan juga kesejahteraan non materil. Dalam upaya pencapaian kesejahteraan dan keadilan tersebut, perempuan merupakan merupakan sumberdaya  yang sangat besar. Atas dasar itu maka setiap upaya yang bertujuan mempercepat dan memfasilitasi pencapaian kesejahteraan dan keadilan tersebut harus dilaksanakan.Perempuan sebagai manusia yang bermartabat perlu diberdayakan kemampuannya serta mendapat perlindungan hak-haknya sesuai dengan syari’at Islam dan hak asasi manusia.
Dalam konteks kehidupan bernegara, negaralah (melalui pemerintah) yang bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Untuk itu negara/daerah mempunyai kewajiban untuk menata melakukan Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan. Dengan melakukan berbagai upaya pemberdayaan dan perlindungan perempuan maka potensi perempuan dapat dimaksimalkan untuk ikut serta menjadi agen perubahan. Selain itu dengan memberikan perlindungan yang maksimal kepeda perempuan maka kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan akan dapat dihapuskan. Melalui Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, maka posisi perempuan akan lebih punya kepastian hukum. Adanya kepastian, pengakuan dan perlindungan tersebut merupakan salah satu prasyarat untuk terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi  semua penduduk.
Isu perlindungan HAM bagi perempuan merupakan isu yang telah mendunia, karena berbagai permasalahan yang muncul diakibatkan oleh ketidak- adilan yang terus terjadi di berbagai belahan dunia. PBB (UN) secara khusus telah mengeluarkan konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women (CEDAW) untuk memberikan perlindungan kepada perempuan yang telah diratifikasi oleh berbagai negara, termasuk Indonesia, melalui UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan.

B.     Identifikasi masalah
Dalam CEDAW Diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana yang yang telah ditratifikasi dengan  UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai segala Penghapusan Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita adalah setiap perbedaan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau bertujuan mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Perlindungan atas diskriminasi juga dikuatkan dalam Pasal 28A s.d 28J UUD 1945. Pasal ini memberi bukti bahwa hak asasi setiap orang dijamin oleh Konstitusi tanpa pengecualian, termasuk hak perempuan. Deklarasi Wina tahun 1993 dengan tegas juga menyatakan bahwa perempuan memiliki hak asasi yang sama dengan insan manusia lainnya, sesuai dengan harkat martabatnya. Sehingga sudah seharusnya perempuan juga berhak atas perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasinya, tanpa mengenal batasan tempat dan waktu. Hal ini juga ditegaskan oleh Pasal 45 UU No.39/1999 tentang Hak asasi manusia (HAM) yang menjelaskan bahwa hak perempuan adalah hak asasi manusia.
Banyaknya aturan yang berbicara tentang perlindungan HAM bagi perempuan, bukan berarti tidak adanya masalah yang di hadapi oleh perempuan dalam mencapai keadilan dan kesetaraan. Permasalahan yang muncul dalam implementasi penegakan dan perlindungan HAM bagi perempuan khususnya di Aceh, melalui  tulisan ini akan dilihat dalam beberapa aspek yaitu :
-            Sejarah perkembangan HAM  dan Politik Hukum di Indonesia 
-            Perkembangan regulasi HAM di Indonesia
-            Kondisi umum pelaksanaan HAM di Aceh
-            Perlindungan HAM bagi perempuan di Aceh
C.    Maksud dan tujuan penulisan
Maksud Penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran (deskripsi) tentang kondisi pelaksanaan Hak  Asasi Manusia (HAM) dilihat dari aspek sejarah, perkembangan regulasi serta Perlindungan HAM bagi Perempuan khususnya di aceh. Pada gilirannya, makalah ini  diharapkan dapat menjadi pendorong untuk melakukan penguatan sebagai upaya perlindungan Hak Asasi Manusia bagi perempuan di Aceh, dalam rangka mencapai  kualitas keadilan dan kesetaraan penegakan Hak Asasi Manusia, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.




BAB II
PEMBAHASAN


A.    Sejarah Perkembangan HAM dan Politik Hukum di Indonesia 
1)      Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia Pra Kemerdekaan Republik Indonesia
Ide-ide mengenai jaminan hak asasi manusia di Indonesia terefleksi secara nyata dalam kultur masyarakat Indonesia. Penyelesaian sengketa secara melalui pemuka-pemuka adat menjadi ciri bahwa permasalahan hak asasi manusia memiliki urgensi krusial untuk diselesaikan. Percikan pemikiran mengenai hak asasi manusia pada masa pra kemerdekaan dapat dibaca dalam kumpulan surat-surat R.A. Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) yang menceritakan betapa pentingnya hak atas pendidikan dan persamaan derajat, selanjutnya pada karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad yang isinya adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia Belanda.
Dalam konteks pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial dalam tulisan yang dimuat dalam Goeroe Desa.
Boedi Oetomo memiliki tujuan yaitu Medewerking to de verwezenlijking van de Indonesische Eenheidsgedachte (turut berusaha untuk melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia. Selain itu, Boedi Oetomo telah pula memperlihatkan kepeduliannya tentang konsep perwakilan rakyat. Langkah tersebut diambil sebagai bentuk kewajiban mempertahankan negeri di bawah pemerintahan kolonial. Selanjutnya, pemikiran hak asasi manusia pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi tokoh organisasinya seperti Moh. Hatta, Nazir, Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A.A Maramis, dan lain-lain. Pemikiran itu lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self-determination).
Selanjutnya, Sarekat Islam merupakan organisasi kaum santri yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis. Konsep HAM yang dikemukakan oleh organisasi ini menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Selanjutnya, Partai Komunis Indonesia yang merupakan partai yang berlandaskan pada Marxisme. Dari segi pemikiran HAM partai ini lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat-alat produksi. Organisasi yang juga konsen terhadap HAM ada pada Indische Partij yang memiliki konsep pemikiran HAM paling yakni hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan, Douwes Dekker menyatakan bahwa kemerdekaan itu harus direbut. Kemudian Partai Nasional Indonesia yang dalam konteks pemikiran HAM mengedepankan hak untuk memperoleh kemerdekaan (the right of self determination). Adapun pemikiran HAM dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan oleh Moh. Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan dan merupakan wadah perjuangan yang menerapkan taktik non kooperatif melalui program pendidikan politik, ekonomi dan sosial.
Perdebatan pada sidang BPUKPI mengenai perlu dimasukkannya hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia menjadi tonggak penting dalam diskursus pemikiran hak asasi manusia selanjutnya. Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mengenai dasar negara yang dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut Staatsidee. Dasar negara Indonesia tidak berlandaskan pada paham liberalisme dan kapitalisme namun berlandaskan pada asas kekeluargaan dan gotong royong. Oleh sebab itu pemikiran mengenai hak asasi manusia tidak perlu dicantumkan dalam konstitsui. Hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Hatta menegaskan kekhawatirannya jika Indonesia nantinya akan terjebak pada pemberian kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara sehingga menjadi negara dengan otoritarianisme. Yamin dalam pidatonya kemudian menyatakan “Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya.
Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar,” Pendapat Hatta dan Yamin didukung pula oleh anggota BPUPKI yang lain yakni Liem Koen Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpersonschendbaarheid van woorden(pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan).
Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi. Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undang undang, tetapi juga dalam arti konseptual. Konsep yang digunakan adalah “Hak Warga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights).
Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian of human rights

2)      Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia
Pada 1945-1950 Pemikiran HAM pada awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka (self detemination), hak kebebasan berserikat, melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Hal ini tidak lepas dari fakta sejarah yang menunjukkan upaya bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dari tentara sekutu yang telah melancarkan agresi militer Belanda I dan agresi militer Belanda II. Puncak penegakan hak asasi manusia pada masa ini ditandai dengan penyerahan kedaulatan melalui perjuangan diplomasi pada Konferensi Meja Bundar.
Pada tahun 1950-1959 Presiden Soekarno pada masa ini memerintah dengan menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Ada beberapa pemikiran penting mengenai perkembangan hak asasi manusia pada masa ini yakni:
a.       Semakin banyak tumbuh partai politik dengan beragam idiologinya masing-masing.
b.      Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya.
b.      Pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan,  fair dan demokratis.
a.       Parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil-wakil rakyat dengan melakukan kontrol/pengawasan yang semakin efektif terhadap eksekutif.
b.      Wacana dan pemikiran tentang ham memperoleh iklim yang kondusif, sejalan dengan tumbuhnya sistem kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
Pada tahun 1959-1966 Pada periode ini, sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini kekuasaan terpusat pada tangan presiden. Akibatnya Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam perspektif pemikiran hak asasi manusia, telah terjadi pengekangan hak asasi masyarakat terutama hak sipil dan hak politik. Dengan kata lain telah terjadi restriksi atau pembatasan yang ketat oleh kekuasaan, sehingga mengalami kemunduran (set back) sebagai sesuatu yang berbanding terbalik dengan situasi pada masa Demokrasi Parlementer.
Dengan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali. Pada masa ini Kebebasan partai dibatasi dan Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Era Demokrasi Terpimpin ini merupakan kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Pada tahun 1966-1998 Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia yang menghasilkan “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Pada masa ini banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi secara sistematis dan sitemik seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya. Namun perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia ini telah menunjukkan sikap akomodatif dari pemerintah dalam memenuhi tuntutan penegakan hak asasi manusia yakni dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) pada tanggal 7 Juni 1993 berdasarkan KEPRES No. 50 tahun 1993.  Pada tahun 1998-kini Perkembangan pemikiran hak asasi manusia pada masa reformasi ini kembali mengalami progres yang signifikan. Hal ini ditandai dengan ratifikasi ketentuan pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) melalui UU No. 11 Tahun 2005 serta Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia yang akhirnya terwujud dalam amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat mengenai Pasal khusus yang mengatur tentang hak asasi manusia yakni pada pasal 28A-J yang mengatur hak asasi sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dan sekaligus mengatur mengenai tanggung jawab negara akan pemenuhan hak asasi tersebut. Dalam konteks penegakan hak asasi manusia, pada masa ini terbentuk pengadilan HAM yang khusus mengadili pelanggaran HAM berat.
Pasang surut mengenai pemikiran hak asasi manusia menjadi ciri bahwa kehidupan masyarakat yang mengalami dinamika. Hal ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipegang oleh bangsa Indonesia, adat istiadat, ketentuan-ketentuan hukum internasional serta budaya hukum masyarakat nasional dan internasional. Dinamika mengenai pemikiran hak asasi manusia ini diikuti dengan dinamika pengaturan hak asasi manusia dalam instrumen hukum nasional. Penegakan hak asasi manusia bukan sekadar kewajiban moral, tetapi merupakan kewajiban hukum. Moral dalam arti luas mengandung makna human caracter, conduct, intention, social relation sehingga dalam moral bermakna human conduct. Tingkah laku bermoral tidak saja berkaitan dengan kelakuan baik, tetapi tingkah laku yang mengandung makna dan isi adanya kepedulian sosial dalam bermasyarakat. Bentuk tingkah laku tersebut dapat dimasukkan ke dalam kelompok etika. “ethics is also moral philosophy...ethics is the study of human custom...Hence ethics is the study of right and wrong, of good and evil in human conduct.

B.     Perkembangan regulasi HAM di Indonesia
Pada dasarnya HAM terdapat dalam UUD 1945 BAB X-A pasal 28-A sampai dengan pasal 28-J. Sebagian kalangan menafsirkan, dengan adanya dasar hukum tersebut maka masyarakat Indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (UUD 1945 Amandemen ke-2 pasal 28-D ayat 1).  Memang jika ditilik dari defenisi HAM maka di Indonesia tercatat banyak sekali kasus yang terjadi khususnya di bidang HAM. Misalnya kasus-kasus penggusuran rumah-rumah warga yang dibangun di sekitar jembatan, pembersihan para pedagang kaki lima yang sering meresahkan para pengguna jalan raya seperti para pengguna kendaraan bermotor dan para pejalan kaki.  
Pada masa menjelang peralihan pemerintahan dari masa Orde Baru ke masa Reformasi banyak sekali kejadian menyangkut pelanggaran HAM ini. Peristiwa 1998 yang berujung penguduran diri Presiden Soeharto pada waktu itu sebetulnya adalah puncak dari segela peristiwa yang terjadi sebelumnya. Pada masa pemerintahan yang sangat represif, banyak aktifis yang tiba-tiba hilang tak tahu di mana rimbanya. Disinyalir kuat mereka telah diculik dan dibunuh oleh tangan-tangan penguasa pada waktu itu. Aksi demo besar-besaran mahasiswa dari seluruh Indonesia juga menyimpan sejumlah kasus pelanggaran HAM oleh aparat keamanan terhadap rakyat sipil. Semuanya berlangsung secara sporadic dan sangat massif pada waktu itu. Karena institusi hokum telah dikuasai oleh penguasa, maka HAM adalah alat yang digunakan untuk menjerat para pelaku pelanggaran tersebut. Bahkan ketika masa reformasi, cara-cara pelenyapan aktifis masih juga terjadi. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana almarhum Munir yang tewas secara mendadak dalam perjalanannya ke Belanda. Di dalam darahnya ditemukan racun jenis arsen yang melewati ambang batas normal. Diduga kuat dia telah dengan sengaja diracun. Maka popularitas HAM ini semakin mendapat tempat di negeri ini. Telahpun masuk ke dalam struktur Negara melalui pembentukan Komisi Nasional (Komnas) HAM.            
Dan yang perlu diketahui adalah bahwa dalam negara hukum (rechtstaat), bukan saja warga negara yang harus tunduk dan taat kepada hukum, tetapi negara beserta seluruh komponen penyelenggara negara termasuk Komnas HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk melindungi dan menegakkan HAM juga wajib taat kepada hukum. Hal ini dipertegas sendiri oleh pasal 67 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM:  “Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia .”
Sungguh merupakan hal yang tidak dapat disangkal bahwa dalam konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM telah dijamin hak setiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan beribadah menurut agama yang diyakininya. Akan tetapi hukum juga yang mengatur bahwa dalam melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan itu, tentu harus mengedepankan unsur ketertiban dan kehormatan nilai-nilai kesucian ajaran agama/kepercayaan pihak lain.
Maka jika kita mengakui universalitas HAM disandarkan pada standar nilai dan otoritas, maka kita boleh dinafikan adanya sistim pemeliharaan kesucian ajaran suatu agama. Islam juga mempunyai standar nilai dan otoritas dalam menjaga kesucian dan keagungan ajarannya yakni enam rukun iman dan lima rukun Islam. Oleh karenanya jika ada aliran kepercayaan menatasnamakan Islam, tetapi menyimpang dari standar nilai Islam, inilah yang disebut ajaran sesat. Merekalah orang yang melakukan penodaan agama.
Pada saat ini HAM telah menjadi issue global, yang tidak mungkin diabaikan dengan dalih apapun termasuk di Indonesia. Konsep dan implementasi HAM di setiap negara tidak mungkin sama, meskipun demikian sesungguhnya sifat dan hakikat HAM itu sama. Dalam hal ini, ada tiga konsep dan model pelaksanaan HAM di dunia yang dianggap mewakili, masing-masing di negara-negara Barat, Komunis-Sosialis dan ajaran Islam. Adanya HAM menimbulkan konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan pelanggaran HAM itu sendiri. Khusus tentang implementasi HAM di Indonesia, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dan belum kondusifnya mekanisme penyelesaiannya,, tetapi secara umum baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan serta dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi. 
Penuangan konsep HAM dalam pelbagai peraturan perundangan tidak boleh dikatakan purna atau tidak purna, karena sesungguhnya pencantuman pernyataan HAM di dalam peraturan perundangan itu bermaksud awal, menegaskan kembali hak yang telah ada dan mungkin lebih dahulu disebut dalam beragam peraturan perundangan lain. Meski, akomodasi mengenai HAM dalam berbagai peraturan perundangan lain itu tidak langsung dan agak samar-samar. Mengapa konstitusi kita (UUD 1945) tidak banyak memuat ketentuan mengenai HAM, mulanya adalah karena pada waktu itu awal pembentukan negara dan Konstitusi itu sendiri. Kita beranggapan, cukup 'diwakili' oleh Pembukaan UUD 1945 sehingga  dalam Batang Tubuh (pasal-pasal)-nya tidak dijabarkan lagi. Akan tetapi kini ternyata kita 'terpaksa' mencantumkan/menjabarkannya ke dalam  pasal-pasal UUD 1945. Bahkan melalui amandemen kedua, kita menambah dan memperjelas ketentuan berkenaan HAM dalam satu bab tersendiri, yakni Bab XA dari pasal 28A hingga 28 J UUD 1945. Hal ini bisa jadi dapat dianggap masih kurang, meski sebenarnya telah cukup karena nantinya secara rinci juga akan dijabarkan ke dalam peraturan perundangan khusus berkenaan HAM.
Lahirnya UU Nomor 33 Tahun 1999 tentang HAM dan seperangkat peraturan  perundangan yang ada mengenai HAM sebagai penjabaran lebih lanjutnya, termasuk UU yang berasal dari ratifikasi konvensi internasional mengenai HAM, sesungguhnya menguatkan adanya indikasi bahwa RI berupaya sungguh-sungguh memperhatikan persoalan yang berkenaan dengan HAM. Meski demikian, karena konsepsi HAM yang tidak harus sama antara satu negara dengan negara lainnya terutama karena persoalan ideologi dan sebagainya, maka yang disebut sebagai 'pengakuan' HAM itu menjadi berbeda pula. Dengan kata lain, terdapat batasan dalam penerimaan konsepsi HAM tersebut.
Nilai persamaan dan kebebasan yang ada dalam konsepsi HAM khususnya yang berasal dari negara Barat, berbeda dengan negara Timur dan RI. Landasan yang dipergunakan Indonesia dalam memahami HAM adalah agama, nilai luhur budaya bangsa yang berakar pada Pancasila sebagai ideologi negara, juga nilai moral yang berlaku universal. Jika fungsi peraturan perundangan membatasi HAM dalam pelaksanaannya, maka tentu dimaknai lebih dahulu bahwa tujuannya adalah dalam rangka perlindungan dan jaminan bagi pelaksanaan HAM. Tegak dan terlaksananya HAM bila kewajiban asasi dilaksanakan, dan untuk melaksanakan semua ini diperlukan peraturan perundangan.
Membatasi pelaksanaan HAM tidak sama dengan menghilangkan atau merampas hak azasi orang, karena pada dasarnya HAM itu bersifat inviolable (tidak boleh diganggu gugat keabsahannya) dan inelienable (tidak boleh dicabut atau diserahkan pada siapa pun yang berkuasa).
Perlindungan terhadap HAM melalui peraturan perundangan di Indonesia, baik  dalam bentuk UU yang meratifikasi berbagai konvensi internasional mengenai HAM maupun UU organik yang sengaja diterbitkan dalam rangka penjabaran amanah konstitusi (UUD 1945). Demikian pula bentuk peraturan perundangan lain, seperti keputusan presiden, bahkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) pernah dikeluarkan.
Peraturan perundangan dimaksud, antara lain (HAM dalam aturan internasional):
1.            Charter  of United Nations 1945;
2.            Universal Declaration of Human Rights 1948;
3.            Convention on the Political Rights of Women 1952 (Konvensi mengenai Hak Politik Perempuan Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958);
4.            UU Nomor 7 Tahun 1984 yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Woman 1979);
5.            Convention on The Rights of the Child 1989 (Konvensi mengenai Hak-hak Anak) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002;
6.            UU Nomor 5 Tahun 1998 yang meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Teratment or Punishment 1987);
7.            UU Nomor 29 Tahun 1999 yang meratifikasi Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention on Elimination Rasial Discrimination 1965);
8.            Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 yang meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; dan
9.            Undang-undang No. 12 Tahun 2005 yang meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.



        Sedangkan Instrumen HAM Nasional :
1.       UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.       UU Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM;
3.       UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
4.       TAP MPR XVII / MPR / 1998 Tentang HAM;
5.       Keppres No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM; dan
6.       Keppres No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)

C.    Kondisi Umum Pelaksanaan HAM di Aceh Pasca MoU Helsinki
Utusan khusus sekjen PBB  Hina Jailani perempuan kelahiran Lahore berkebangsaan Pakistan dalam kunjungannya ke aceh pasca tsunami menyatakan bahwa melihat kondisi para pembela ham di Aceh  saat ini lebih baik daripada masa konflik .pernyataan staf khusus PBB yang membidangi situasi para pembela ham dibidang perempuan itu dikatakan setelah melihat perkembangan di provinsi aceh pasca penanda tanganan mou antara pemerintah RI dengan Gam dan sejalan dengan itu DR.Zaini Abdullah berpendapat tentang perdamain aceh diperlukan sebuah pemahaman untuk mendorong agar perdamaian di Aceh tetap berlanjut abadi. Salah satunya, dengan melakukan pendekatan persuasif dan berbicara dari hati ke hati apabila ada sesuatu hal yang dinilai belum berjalan sesuai dengan komitmen yang telah disepakati.
Walaupun Kondisi umum ham di aceh pasca perjanjian damai antara pemerintah RI dan GAM menjadi lebih baik dibandingkan dengan zaman konflik namun bukan berarti pelanggaran ham terhadap kaum perempuan tidak lagi ada sama sekali misalnya saja kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh 3 oknum anggota Wilyahatul Hisbah (WH) kota langsa .hal ini membuktikan bahwa perlindungan ham terhadap perempuan belum menjadi prioritas oleh semua kalangan.
Mengenai pembentukan pengadilan ham untuk pelanggaran ham terhadap perempuan dimasa lalu sampai saat ini belum terbentuk,baik dalam bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) maupun Pengadilan HAM untuk Aceh. Komisi Bersama Penyelesaian Klaim sebagaimana diamanatkan MoU Helsinki, juga belum dibentuk. Hal ini lebih dimungkinkan oleh persoalan politis dalam negri maupun kemauan yang kurang dari berbagai pihak namun walaupun demikian secara garis besar kondisi ham secara umum di aceh pasca mou antara RI dan Gam lebih baik dibandingkan dengan kondisi Ham sewaktu konflik bersenjata pra mou Helsinki ,pendapat ini sejalan dengan apa yang dinyatakan staf khusus PBB bagian perempuan Hina Jailani.

D.    Perlindungan HAM Bagi Perempuan di Aceh
Hak Asasi Manusia termasuk Hak Perempuan sudah dimuat dalam instrumen Hak Asasi Manusia Umum. Akan tetapi kenyataannya hak perempuan secara khusus belum tercantum dalam daftar hak-hak yang dilindungi atau belum diakui sebagai bagian dari konsensus universal. Sehingga perempuan harus menanggung semua akibat pelanggaran hak perempuan yang masih terus terjadi dan seakan tidak dilihat sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia hingga saat ini. Perlakukan yang tidak adil, dan pengabaian terhadap hak-hak perempuan juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang berkeadilan.
Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 7 tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai segala Penghapusan Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, barulah mencantumkan secara spesifik tentang hak asasi perempuan. Akan tetapi prinsip-prinsip yang erkandung dalam CEDAW belum sepenuhnya terakomodir dalam peraturan perundang-undangan, maupun dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks Aceh, setelah MoU Perdamaian Helsinki, bencana tsunami, dan dalam pengimplementasian Syari’at Islam, pemenuhan hak-hak perempuan masih jauh dari harapan. Ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan terus terjadi dan sulit untuk dihapuskan, baik dalam lingkup domestik maupun publik.
Oleh karenanya, untuk membangun Aceh baru, memperhatikan keadilan dan pemenuhan hak-hak perempuan menjadi keharusan. Karena dengan memperhatikan keadilan bagi perempuan sama dengan membangun potensi perempuan untuk mewujudkan Aceh baru yang lebih berkeadilan.  
Wilayah Nanggroe Aceh Darssalam, memiliki jumlah penduduk saat ini  4.031.589  jiwa terdiri atas 2.005.763 jiwa (49%) laki-laki dan   2.025.826 jiwa (52%) perempuan. Melihat angka statistik tersebut secara kuantitas perempuan memiliki sumberdaya yang lebih besar daripada laki-laki sehingga dapat memberi kemungkinan yang lebih besar sebagai subyek atau stakeholder pembangunan di Aceh. Oleh karenanya potensi ini harus dapat dimanfaatkan secara optimal agar potensi ini tidak berubah menjadi beban pembangunan.
Jauh sebelum UUPA ada, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, di Nanggroe Aceh Darussalam “tempoe doeloe” pengakuan terhadap eksistensi perempuan telah sangat maju. Pengakuan tersebut ditabalkan dalam hadih maja Aceh yang cukup populer, yaitu :   Adat bak Poe Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang,Reusam bak Laksamana. Adat berkaitan dengan urusan tata pemerintahan. Hukom berkaitan dengan pengelolaan urusan keagamaan. Qanun menyangkut dengan masalah peraturan. Sedangkan reusam berkenaan dengan perihal kebiasaan.
Putro Phang yang dimaksudkan dalam hadih maja di atas adalah perempuan, permaisuri, istri Sultan Iskandar Muda (Poe Teumeureuhom) yang berasal dari Pahang Malaysia. Sehingga, adanya pernyataan “Qanun bak Putro Phang”, berarti, masalah peraturan merupakan urusan yang ditangani atau diikutkan perempuan. Putro Phang, mengisyaratkan betapa penting dan strategi`snya peran perempuan di Aceh saat itu.
Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006, posisi perempuan telah ditegaskan secara juridis formal. Dalam undang-undang tersebut, posisi dan porsi perempuan diharuskan ada secara memadai pada  4 (empat) bidang kehidupan, yaitu dalam areal politik, majelis pertimbangan ulama (MPU), ekonomi, dan pendidikan. Di samping mengatur tentang posisi dan porsi perempuan dalam bidang-bidang itu, malah dalam Pasal 231 ayat (1) UUPA tersebut menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya pemberdayaan yang bermartabat.
Penyaduran prinsip-prinsip  HAM sudah banyak diterapkan dalam regulasi nasional, diantaranya,yakni;
1.            UU No. 12 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
2.            UU No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
3.            UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4.            Amandemen UUD 1945 khususnya pasal Pasal 28 I (2), yang menegaskan bahwa    “Setiap  orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat iskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” 
Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Jender Dalam Program PembangunanNasional
Sementara itu untuk regulasi local Aceh perlindungan HAM bagi perempuan juga diatur dalam :
1.             Qanun No. 3 thn 2007 ttg Tata cara penyusunan Qanun            
2.             Qanun No. 5 thn 2007 ttg Susunan organisasi dan tata cara kerja Dinas, lembaga, tehnis daerah dan lembaga daerah Provinsi (khususnya yang mengatur tentang Badan pemberdayaan dan Perlindungan Anak)
3.             Qanun No. 6 ttg Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan              
4.             Piagam hak-hak perempuan                                                         
Dari segi kebijakan  yang tertulis maupun yang tidak tertulis, realitasnya belum sepenuhnya mengakomodir  kepentingan-kepentingan perempuan, termasuk perempuan korban kekerasan. Dalam beberapa kebijakan yang ada,  substansinya perlindungan Hak Asasi perempuan masih berada pada posisi sub ordinasi dari laki-laki dan ada pembatasan ruang gerak dan posisi perempuan.

1.      HAM dan bidang Politik
-            Lingkungan Eksekutif
Posisi perempuan di Pemerintahan di seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dari 6000 lebih desa, hanya 6 perempuan yang menjadi Keusyiek. 4 perempuan menjadi Camat, tidak ada perempuan menjadi Bupati/ Walikota atu Gubernur. Dari 71 posisi Eselon II di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam hanya 2 orang perempuan. Dari 294 posisi Eselon III hanya 25 orang perempuan, dan dari 1.022 posisi Eselon IV hanya 167 orang perempuan.
-            Lingkungan Yudikatif
Pada lembaga yudikatif, di tingkat Pengadilan Tinggi, dari 9 (sembilan) hakim yang ada 4 (empat) orang di antaranya adalah perempuan. Di Kejaksaan Tinggi, dari 31 jaksa 6 (enam) di antaranya adalah perempuan. Sementara untuk Pengadilan Tinggi Agama, dari 10 hakim yang ada, tidak ada satupun perempuan. Dan untuk Pengadilan Agama (Mahkamah Syari’yah), dari 138 orang hakim agama, hanya 15 orang perempuan (BRR, 2006).
-            Lingkungan Legislatif
Hasil pemilu tahun 2004
Jumlah Kursi
Legislative perempuan
PAW
DPRA
69
4
+ 3
DPRK
580
41
+ 7
Total
645
45
+ 10

Hasil Pemilu 2009
Jumlah Kursi
Legislative perempuan
DPRA
69
4
DPRK
645
45
Total
714
49


2.      HAM dan bidang Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian yang dibuat oleh sarker BRR, pemulihan peningkatan kesejahteraan anak dan perempuan 2006, diperoleh gambaran bahwa persentase terbesar berada pada pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah(MI). Ironisnya di Kabupaten Bireuen, Aceh Barat Daya dan Aceh Jaya lebih separoh dari responden memiliki tingkat pendidikan SD/ MI dan di seluruh kabupaten masih terdapat perempuan yang tidak tamat SD/ MI (rerata 17,88 %), Kabupaten Pidie memiliki persentase terbesar (37,50 %).
Dengan demikian sebahagian besar perempuan korban konflik memiliki kualitas pendidikan yang cenderung rendah. Secara konseptual, seseorang yang memiliki pendidikan rendah diperkirakan akan memiliki wawasan dan pengetahuan yang rendah pula. Dengan pengetahuan yang rendah diperkirakan ketajaman dalam menganalisis sesuatu persoalanpun menjadi lemah. Akibatnya, jika orang tersebut menghadapi masalah, maka terlalu sulit bagi mereka untuk keluar dari permasalahan tersebut.

3.      HAM dan bidang Hukum
Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut. Baik yang terjadi dalam konflik bersenjata, dalam situasi paska bencana alam gempa dan tsunami, dalam rumah tangga maupun di lingkup publik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa catatan lembaga-lembaga local yang ada di Aceh seperti di bawah ini :
a)        Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI), tahun 2006 menerima 100 kasus dan pada tahun 2007 -2008 meningkat menjadi 242 kasus.
b)        Kelompok Kerja transformasi gender Aceh (KKTgA), tahun 2006 dan tahun 2007 menerima 141 kasus.
c)        Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), tahun 2006 menerima 36 kasus  dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 114 kasus.
d)       Ruang Penanganan Kasus(RPK), tahun 2006 dan tahun 2007 menerima 249 kasus.
Di masa konflik bersenjata Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 217 kasus, 22 perempuan dan 17 anak-anak. Penghilangan paksa  123 korban, 4  perempuan dan 6  anak-anak. Penyiksaan dan pelecehan sexual  214 korban, 19 perempuan dan 21 anak-anak, sedang perkosaan 28 perempuan dan 8 anak-anak. Kasus (Kontras).
Walaupun ada perempuan yang memilih atau terpaksa menjadi kombatan, perempuan pada umumnya berada diluar lingkaran konflik, tetapi menjadi kelompok yang sangat rentan dan menanggung beban paling banyak. Perempuan menjadi pengungsi, korban kekerasan dan perkosaan,dijadikan sasaran perantara, dijadikan alat bargaining politik pihak yang bertikai, kehilangan tempat tinggal dan orang-orang dicintai). Kabar gembiranya adalah, walaupun menghadapi penderitaan yang luar biasa, perempuan Aceh tidak menyerah.  Mereka menjadi kepala keluarga, pencari nafkah utama, meneruskan kehidupan sosial, mengurus anak serta agen pembaharuan dan perdamaian.
Struktur (bentukan) pikiran, anggapan, pandangan dan tindakan yang hidup dalam masyarakat tentang peran, posisi perempuan yang dikaitkan  dengan seksualitas perempuan sehingga menyebabkan perempuan secara tidak seimbang ditempatkan dan diyakini sebagai peran, posisi dan kodrat yang harus ditetapkan dan dijalankan bagi perempuan dan untuk menjadi perempuan dalam suatu relasi budaya masyarakat. Pola pandang ini didasarkan pada budaya dan pemahaman agama. Akibatnya ada Pola relasi sosial yang timpang antara perempuan dan laki-laki. (Dikutip dari Azriana, Kekerasan Berbasis Gender, 2006).

  

BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Dari penulisan makalah di atas maka di sini dapat di ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.    Dari  sejarah perkembangan politik hukum terhadap perlindungan HAM bagi kaum perempuan di Indonesia serta khususnya di Aceh, di mana sejak dari dahulu hingga sekarang pemerintah sangat memperhatikan tentang kebebasan atau gender terhadap kaum perempuan dengan banyak lahirnya Undang-undang dan Qanun.
2.    Dalam bidang regulasi perlindungan HAM bagi perempuan di Indonesia mendapat perhatian yang sangat serius oleh pemerintah di mana sudah mengamandemen Undang-undang Dasar dan banyak melahirkan Undang-undang terhadap kebebasan kaum perempuan.
3.    Meskipun sudah banyak Undang-undang dan Qanun terhadap perlindungan HAM bagi kaum perempuan khususnya di Aceh, akan tetapi kondisi dalam pelaksanaan masih terdapat diskriminasi terhadap kaum perempuan di mana keterlibatan kaum perempuan baik di bidang pemerintahan Aceh maupun legislatif Aceh masih belum sesuai dengan aturan-aturan yang telah di buat.
4.    Perlindungan HAM bagi Perempuan Aceh yang di atur dalam Undang-Undang Indonesia dan Qanun walaupun sudah banyak di atur dalam Undang-undang maupun dalam Qanun akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak terdapat pelanggaran-pelanggaran bagi kebebasan kaum perempuan serta diskriminasi  perempuan serta upaya-upaya apa saja yang di tempuih oleh pemerintah dalam penegakan hukum tersebut masih sangat lemah  pengaturannya baik terdeapat  dalam Undang-undang maupun Qanun.



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... .... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. .... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah................................................................... .... 1
B.     Identifikasi masalah......................................................................... .... 4
C.     Maksud dan tujuan penulisan.......................................................... .... 5

BAB II PEMABAHASAN
A.    Sejarah Perkembangan HAM dan Politik Hukum di Indonesia......      6
B.     Perkembangan regulasi HAM di Indonesia..................................... .... 11
C.     Kondisi Umum Pelaksanaan HAM di Aceh Pasca MoU Helsinki.. .... 17
D.    Perlindungan HAM Bagi Perempuan di Aceh................................. .... 18

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan...................................................................................... .... 23
DAFTAR PUSTAKA
ii
 

 


KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan  segala rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah dengan judul “Politik Hukum dalam bidang HAM”
Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan baik isi maupun susunannya. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis juga bagi para pembaca. 



Indramayu,   Januari 2018

Penulis

i
 
 

0 comments:

Proudly Powered by Blogger.